Old Dreams Do Come True



Saya selalu terkesan dengan quotes "You don't always get the dream house..but sometimes you get the pretty close, you know?" yang diucapkan oleh Mark Rufallo dalam film 13 Going 30.

Sejak kali pertama, quotes tersebut sukses menginspirasi saya selama bertahun-tahun, dari berbagai sudut pandang.

Tentunya, quotes ini juga selalu memotivasi saya untuk yakin bahwa kelak kita pasti bisa memiliki rumah (the dream house) yang dibangun dari rasa percaya akan mimpi.

Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, tepat tiga minggu setelah menikah, saya dan suami mantap pamit dari rumah orang tua demi hidup mandiri di rumah sewa.
Alhamdulillah, dua bulan menjelang ultah pernikahan pertama di tahun 2010, kami sudah menempati rumah sewa ke-2 yang nyaman di sebuah perumahan strategis di Jabodetabek.

Orang tua sangat mendukung pilihan ini.
Mereka sering mengunjungi bahkan tak jarang antusias menginap di 'hunian sementara' kami.
Saya dan suami sampai sekarang masih terkesan dengan wejangan papa saya, saat ia pertama kali berkunjung.

Papa mengatakan bahwa tahapan kami sudah tepat.
Bahwa membangun rumah tangga itu memang seperti membeli bahan-bahan bangunan yang dibutuhkan layaknya membangun sebuah rumah.

"Jangan membeli 'bahan-bahan bangunan' yang tidak rasional dengan daya beli kita pada saat yang belum tepat. 
Karena membeli rumah, bukan tugas utama dan bukan kewajiban kita dalam pernikahan. Tugas utama pasangan suami istri dalam pernikahan adalah memprioritaskan kelangsungan rumah tangga. 
Rumah, baru menjadi kebutuhan, saat kita memang telah mampu berusaha memilikinya."

Dan ini, cerita perjalanan syukur ketika akhirnya Allah antarkan kami pada hunian perdana milik pribadi..
A house, of our own at last.
 ***

Saat Allah tempatkan kita pada satu situasi pelik, mungkin itu cara-Nya berisyarat agar kita melangkah ke tahapan lain yang jauh lebih baik.

Pindah rumah adalah agenda yang muncul begitu saja saat kami sedang menanti kehadiran buah hati.

Saya masih ingat sekali, di usia 8 bulan kehamilan pertama saya, kami mendapat telepon yang mengubah semuanya, dari ibu pemilik rumah sewa.
Beliau menanyakan perihal apakah kami masih berminat memperpanjang kontrak sewa rumah atau tidak.
"Karena kemungkinan besar, Desember tahun depan anak Ibu akan selesai kuliah dan ingin bekerja di Jakarta. Kalau tidak ada yang berencana perpanjang kontrak, mungkin dia yang akan menempati rumah ini," jelasnya.

Kami menerjemahkan kabar tersebut dengan respon positif dan tidak terusik.
Bisa saja ini bermakna, mungkin memang sudah waktunya kami memiliki rumah sendiri.
Meski timingnya berdekatan sekali dengan persiapan kelahiran buah hati, tapi mudah-mudahan inilah jalan rejekinya anak kami.

Dapat ditebak, tempat pertama yang kami datangi adalah kantor marketing Komplek Permata, perumahan yang kami tempati saat itu.
Berharap masih ada rumah yang available, karena sudah terlanjut lekat dengan lingkungan ini sehari-hari.
Dan keberadaan keluarga Mbak Dianti (tetangga sebelah yang sudah terasa seperti saudara), hanya mempersulit keinginan saya untuk pindah.
Pun demikian, saya tahu, melankolis bukanlah sikap yang tepat saat kita menginginkan rumah sendiri.
Karena kita bukan hanya membeli rumah, melainkan seluruh kehidupan kita akan dimulai pula di sana. 

Jelang akhir Desember 2011, saya tertunduk lesu sambil memandang perut buncit saya, ketika keluar dari kantor marketing.
Tidak ada satu pun rumah ready stock yg tersisa di Komplek Permata, tempat penyimpan kisah 3 tahun pertama pernikahan kami.

Di saat tahu kita belum berjodoh dengan komplek yang mengajari kami begitu banyak momen luar biasa, sahabat sekaligus tetangga terbaik tidak mungkin berhenti menyemangati, sekalipun di dalam hatinya ia ingin tetap berbagi dinding pembatas rumah dengan kita.

Mbak Dianti justru merespon bijak,
"Tapi Mbak Tem..komplek ini memang sudah dibangun cukup lama. Kita sama-sama mengalami suka dukanya kan tinggal di sini..? 
Aku rasa, saat membeli rumah, akan jauh lebih baik bila kita mencari perumahan yang masih menawarkan banyak rumah baru. 
Coba cari-cari dulu, Mbak..
Siapa tau, ada jodoh dengan rumah baru, tapi lingkungannya tidak terlalu jauh. 
Insya Allah kita masih bisa ketemu." 

Mbak Dianti benar.
Yang saya butuhkan saat ini bukan meringis, tapi berpikir logis.

*** 
Ada banyak doa yang sudah kita lisankan sejak lahir ke dunia, tapi pasti ada beberapa momen munajat yang sulit dilupa.
Masih lekat rasanya, momen yang mungkin kelak menjadi doa awal pembuka jalan bagi impian kami memiliki rumah.
Malam hari setelah  mengunjungi kantor marketing perumahan yang saya ceritakan tadi, sudah sukses membuat saya yang tengah hamil 8 bulan terbangun lewat tengah malam.
Pertanyaan yang langsung terlintas ketika terjaga adalah, 
"Ya Allah, tahun depan kami akan tinggal di mana?"

Saya beranjak turun saat pertanyaan tersebut terasa pelan-pelan menggiring satu titik air mata yang nyaris tumpah.
Hanya ingin berwudhu.
Ingin mengarahkan hormon kehamilan yang begitu lumrah membuat saya sesensitif ini, untuk berdiskusi pada Allah..

"Ya Allah..
Saya ingin bicara..
Ingin berdiskusi sebentar saja..

Maafkan ya Allah...kalau saya mengganggu waktu-Mu yang begitu mulia..
Mungkin Engkau tengah sibuk menata semesta..
Melindungi tanpa henti rakyat Palestina,
Atau mungkin sedang menyimak doa hamba-Mu yang jauh lebih sholehah..

Daripada sekedar doa kami yang begitu biasa,
Meminta sesuatu yang sangat bersifat dunia..

Ya Allah..malam ini tidak sendiri saya berdoa..
Mewakili suami yang tengah lelap akibat begitu banyak hal yang mesti dipikirkannya..
Bersama anak yang telah Engkau tiupkan jiwanya sebagai amanah..
Saya mohon, ya Allah..
Jika Engkau berkenan, temukan kami dengan sebuah rumah..

Rumah yang Engkau titipkan kebaikan dan keberkahan di tiap jengkal ruangnya..
Rumah yang Allah hadirkan lewat rejeki halal dari arah yang tidak pernah terduga.."

Malam itu yang saya punya hanyalah munajat seorang calon ibu..
Bersama anak yang ada di dalam rahim, saya bisikkan, 
"Ikut aminkan doa Mama ya Nak..Semoga Mama dan Ayah bisa memberi rumah dan perlindungan pada Rashi..Kelak ketika Rashi sudah hadir di sini.."

Mungkin itu galau terpilu yang pernah saya alami..
Isak saya cukup membangunkan suami.
Ia sodorkan pelukan berikut janji bahwa Allah akan antarkan kami pada satu solusi..


*** 

"Kita fokus dengan kelahiran Rashi dulu, ya Beib..Kita sambut dia dengan fun. Yang lainnya, Ayank ga usah pikirkan. Aa hanya butuh satu dari Ayank tentang ini," kata suami beberapa lama setelah momen Tahajjud Galau saya. 
Saya menunggu perkataan selanjutnya.
"Nurut sama Aa yah..," ucapnya seraya mencium kening, "Aa akan carikan rumah. Aa harap Ayang ridho, dimanapun tempatnya, Allah sediakan untuk kita."

Semua hilang seketika saya menggangguk.

Tidak ada lagi pertanyaan.
Hanya tersisa percaya.

Bismillah..
Pasti.
Allah antarkan kami pada atap pertama keluarga ini..

***
Awal 2012 lahirlah Rashi.
Memanfaatkan masa cuti di hari-hari pertama sejak Rashi bisa dibawa pulang dari RS, suami mulai mengajak saya hunting rumah.
Kami fokus mencari rumah ready stock di perumahan-perumahan sekitar Komplek Permata.
Karena batas waktu yang kami miliki hanya 8 bulan sebelum habis masa kontrak rumah.
Suami mendapat beberapa info rekomendasi dari rekan-rekannya.

Perumahan pertama yang kami tuju adalah perumahan yang lokasinya terjauh.
Perjalanan menuju lokasi cukup berputar-putar, berkat minimnya info yang kami miliki tentang kawasan tersebut.
Seperti biasa, macet hanya berkenan pergi sebentar, lalu muncul kembali dan meramaikan situasi.
Saya mencoba enjoy dan memanfaatkan waktu dengan mengamati situasi di perjalanan.
Karena terkadang pihak developer mencantumkan info yang bisa sangat jauh berbeda dengan realita.

Memasuki gerbang utama kompleknya, satu hal menjadi perhatian saya.
Gerbang utama kompleknya ternyata jauh sekali dari lokasi rumah-rumah yang sedang dibangun.
Keberadaan club house yang berdekatan dengan kantor marketing, tetap tidak bisa menyurutkan perhatian saya terhadap posisi gerbang komplek.
Di satu sisi, gerbang utama yang terlalu berjauhan dengan lokasi rumah, untuk sebagian besar orang memang bukan masalah.
Asalkan kita berani menjamin kondisi kendaraan pribadi tidak akan bermasalah selamanya.
Atau jika keluarga, kenalan, atau siapapun yang berkepentingan, tidak memiliki masalah akses transportasi menuju perumahan tersebut.
Kenyataannya, situasi darurat selalu bisa kapan saja terjadi.
Sehingga menurut kami, letak gerbang utama yang terlalu jauh dari lokasi rumah, sangat perlu dipertimbangkan kembali.

Saat menyusuri jalan perumahan, saya bisa melihat taman-taman kecil telah terbentuk, rumah-rumah berbagai tipe tengah dibangun, dan sebuah musholla hampir rampung.
Nyaman dan apik, meskipun lingkungannya belum dapat dikatakan hidup karena jumlah warga yang menempati rumah masih bisa dihitung.
Perhatian saya muncul kembali saat kami melewati blok paling ujung dari perumahan tersebut.
Deretan rumahnya berseberangan sekali dengan rawa besar dan tebing.
Di atas tebing yang cukup tinggi itu saya bisa melihat dengan jelas jendela juga pintu belakang milik warga pemukiman sebelah.
"Apakah aman ya?" batin saya.
Bila hanya disediakan sederet kawat tipis yang membatasi area blok tersebut dengan rawa.

Sempat terpikir, siapapun yang tinggal di balik tebing itu bisa menuruni tebing, menyebrangi rawa, dan mengetuk pintu belakang rumah yang ada di blok tersebut.
Namun, saya langsung membuang jauh kekhawatiran itu.
Konstruksi bangunan di perumahan ini bahkan belum 50% rampung.
Mungkin saja nanti pihak developer terpikir untuk membangun dinding pembatas yang benar-benar aman di tepi rawa tadi.

Puas mengitari lingkungan perumahan, staf developer mengarahkan kami pada blok yang tengah dibangun sesuai permintaan pembeli rumah (indent).
"Unit yang tersisa tinggal di blok ini saja, Pak. Selebihnya sudah sold out. Kalau Bapak beri tanda jadi, kita bisa langsung bangun rumahnya sesuai permintaan Bapak."
Kalimat yang pastinya sudah lumrah diucapkan oleh pihak developer pada calon pembeli.

Melihat sepertinya mereka bisa menyanggupi pembangunan rumah selesai kurang dari 8 bulan seperti yang diinginkan oleh suami saya, belum lagi harga jual rumahnya masih di bawah budget, suami pun nyaris latah untuk memberikan tanda jadi saat itu juga.

Saya alihkan sesaat respon suami dengan mengajukan pertanyaan pada pihak developer,
"Pak, kalau dari sini ke stasiun kereta, bandara, sekolah, dan pasar terdekat, sekitar berapa lama?"

"Oh, dekat,Bu!" jawabnya meyakinkan.
"Kalau sedang tidak macet, dari sini ke stasiun kereta sekitar 40 menit. Ke pasar atau sekolah terdekat sekitar 35 menit. Ke bandara ya sekitar 1 jam 30 menit lah. Semuanya estimasi kalau tidak macet ya Bu."

Saya sampai harus berusaha menahan ekspresi muka senormal mungkin saat kaget mendengar penjelasan staf developer tersebut.

Kalau tidak macett, dia bilang?
Bearti kalo macet, itu suami saya mau ke stasiun aja butuh waktu sejam lebih kali ya.
Pulang pergi dari stasiun ke rumah udah 2 jam lebih aja.
Belum capeknya kalo dijalani tiap hari.
Belum lagi kalau ada situasi darurat yang mengharuskan kami untuk buru-buru.
Apalagi, jalan utama yang menghubungkan komplek ini dengan kawasan lain, cukup sempit.
Sudah bisa dibayangkan macetnya akan seperti apa.
Saya jadi merasa tidak nyaman untuk tergesa-gesa membuat keputusan besar seperti membeli rumah di perumahan ini.

"Gimana, Beib? Bagus, enak kan lingkungannya? Jadi aja ya?" tanya suami saya.

Hening sejenak, saya mencoba mencari cara yang tepat untuk tidak meruntuhkan antusiasmenya.
"A..kita pulang dan obrolin dulu, yuk. Nanti kalau sudah fixed, kita bisa transfer tanda jadinya."

"Ya kalo Ayank udah oke, kenapa nanti kasih tanda jadinya? Mumpung disini. Rumah yg available tinggal dua unit aja, Yank. Dan kita masih dikasih harga lama. Insya Allah masih affordable banget. Nanti rumahnya ada yang ambil Beib, kalo ngga langsung kasih tanda jadi," paparnya.

"A..kalau rumahnya memang rejeki kita, pasti rumah ini ngga akan Allah biarin kasih ke siapa-siapa, Beib..walaupun kita ga langsung kasih tanda jadi."

Suami langsung diam mendengar alasan saya,
"Oke, lagipula masih ada satu perumahan lagi kan yang kemaren kita skip. Ya udah, kita coba liat ke sana dulu lah ya."

Alhammdulillah..satu tindakan super impulsif hari ini terhindar sudah. 


*** 

Dalam perjalanan pulang, kami membicarakan opini dan review tentang perumahan tersebut.
Saya paham, suami mungkin hanya memprioritaskan target waktu untuk pindah rumah, unit rumah yang masih available sekaligus hampir ready, dan on the budget
Di sisi lain, sebagai istri, saya justru sangat concern dengan hal-hal seperti akses kendaraan, situasi jalan yang nyaman ditempuh atau tidak untuk mobilitas sehari-hari, juga jarak tempuhnya ke stasiun, bandara, sekolah, atau pasar.
Karena terkadang ada perumahan yang terjangkau harganya, tapi sangat mahal biaya mobilitasnya.
Di sisi lain, suami perlu akses yang cepat untuk berangkat kerja. 
Suatu hari anak kami juga akan mulai sekolah. 
Bukan hanya perihal beli rumah, tapi kehidupan kami kelak tumbuh disini, once we bought that house
Kami mencari rumah yang akan ditempati untuk jangka waktu lama. 
Jika belum cukup sreg dengan lingkungan sekitarnya, ada baiknya kita cek situasi di tempat lain.

Suami membenarkan, 
"A tadi juga sempet kaget pas staf developernya jelasin tentang berapa lama waktu buat ke stasiun dan lain-lain. Wah, pasti lama banget waktunya buat pulang pergi kantor-rumah kalo sedang macet."
"Oiya, sama satu lagi," lanjut suami saya.
"Sayang banget jalan  utamanya itu.. ternyata benar-benar sempit. Ini baru keluar dari pintu gerbang kompleknya, kita udah langsung kena macet parah. Logikanya, gimana mau nyampe kemana-mana 5 menit kayak yang mereka tulis di iklan kan kalo macetnya gini.."

Komplain kami rupanya memang beralasan.
Sore itu, butuh waktu sekitar hampir 2 jam bagi kami hanya untuk mencapai pintu tol terdekat yang menghubungkan kawasan tersebut dengan wilayah Jakarta Selatan.
Sampai-sampai waktu pertama kali melihat gerbang tol di depan mata, semua serempak norak bersorak, 
"Haa..akhirnyaa..ngeliat gerbang tol jugaa.."
Hahaha..
Saking udah pada mati gaya akibat stucked kena macet di kawasan yang belum pernah kami lewati sebelumnya.


*** 

Morgan Freeman mengatakan dalam film Feast of Love,
"We have our illusions about people, our hopes, and they can blind us. But The End is always right there in the beginning."

Hidup bisa saja melewatkan kita pada satu karunia besar.
Tapi jika sudah takdir, hal luar biasa tersebut akan tetap ada di sana untuk kita temui, sekalipun di akhir perjalanan.

Perumahan terakhir yang kami kunjungi sebenarnya adalah perumahan yg lokasinya paling dekat untuk dijangkau.
Entah kenapa waktu itu kami justru melewatinya dan mendahulukan lokasi lain.
Begitu tiba di komplek ini, saya punya feeling yang berbeda hanya karena melihat gerbang kompleknya.
Hampir mirip perasaan ketika seseorang tahu ia merasakan deja vu.

Kami menghampiri kantor marketing perumahan.
Saya dan suami langsung kaget ketika mendengar jawaban dari pihak marketing perihal adakah rumah ready stock yang masih available.
"Oh, ada Pak. Persis ada satu unit rumah ready stock yang belum lama ini selesai dibangun."
Really?
Kami sama sekali tidak pernah mendapatkan jawaban semacam itu di perumahan-perumahan sebelumnya.

Semenit kemudian, pegawai kantor marketing langsung mengantarkan kami ke blok lokasi rumah tersebut.
"Ini, Pak. Satu-satunya rumah yang ready."

Saya langsung terkesiap.
Sibuk memikirkan satu perasaan aneh saat menatap rumah putih beratap abu-abu tersebut.
Dimana, saya pernah melihat rumah ini sebelumnya?

Benar-benar terselimuti perasaan yang berbeda saat mendengarkan pihak marketing menjelaskan tentang detail perumahan.
Kontur tanah di sekelilingnya tinggi sehingga aman dari banjir bahkan jauh sebelum area ini digarap menjadi perumahan.
Pintu gerbangnya tidak jauh dari blok perumahan dan dekat dari jalan raya.
Banyak akses transportasi yang bisa diandalkan selain kendaraan pribadi.
Lokasinya stategis.
Dekat sekali dari stasiun, pasar, dan pusat perbelanjaan.
Jalan sekitar perumahannya cukup lebar dan sudah hidup.
Banyak sekali bisa kita temui ruko, toko perlengkapan sehari-hari, minimarket, bahkan sekolah.
Ada beberapa jalan pintas yang menghubungkan jalan depan perumahan dengan kawasan lain di Bintaro dan sekitarnya, sehingga bisa diandalkan jika sedang terjadi kemacetan di jalan utama.
Lingkungannya asri dan hijau.
Aktivitas warganya sudah terbentuk.
Di pojok salah satu blok,  saya melihat sebuah mushola.
"Kami pun tengah membangun sebuah masjid," papar pegawai marketing yang menemani kami melihat-lihat.

Semua info positif tentang lingkungan perumahan ini hanya membuat suami dan saya bergantian melempar tatapan.
Seakan sama-sama merasa "Oke, kita benar-benar mempunyai feeling yang sangat kuat akan rumah ini."

Selesai berkeliling, suami saya iseng bertanya,
"Perumahan ini punya kerja sama dengan instansi mana saja, Pak?"
"Bapak kerja dimana?" pihak marketing balik bertanya.
Suami saya menyebutkan sebuah instansi syariah.
"Oh, kita ada kerja sama kok dengan instansi tersebut."

Melihat raut kaget sekaligus lega di wajah suami, si pegawai marketing tersenyum dan kembali merespon,
"Semoga dilancarkan dan berjodoh ya Pak dengan rumah ini. Kalau iya, wah bearti rumah ini mungkin memang milik Bapak dan Ibu banget. Dulu ada yang mau beli. Orangnya bahkan sudah sempat sedikit merenovasi, dia bikin balkon belakang di lantai 2. Ternyata pengajuannya ditolak. Mungkin rumahnya memang mesti available sampai bapak dan ibu datang."

Kami sempat terdiam lama sepulang dari sana.
Beda. 
Bukan terdiam karena galau.
Justru lebih mirip terdiam karena rumah tersebut terus terbayang.
It's just different.

Sekembalinya ke rumah sewa, saya diberondong pertanyaan oleh Mbak Dianti juga beberapa tetangga yang sore itu kebetulan sedang main di rumahnya untuk sedikit menceritakan pengalaman magis tersebut.
Mereka semua sangat excited dan mendoakan yang terbaik.
"Ya Allahh, Mbakk..Itu mah mudah-mudahan jodoh banget rumahnya..Deket banget pula dari sinii..Jadi kita masih bisa gampang mainn..Semangat, semangat Mbak Tem..Bismillah, mudah-mudahan rejeki yg dilancarkan Allah ya Mbak..Semoga rumahnya nanti juga membuat betah dan mendatangkan banyak berkah.."

Sampai cerita ini dituliskan, saya masih belum bisa berhenti merasa haru akan doa sahabat-sahabat di komplek lama.
Ternyata Allah berkenan dengan doa mereka.
Tujuh bulan sejak doa-doa itu dilisankan, tiga minggu menjelang Idul Adha 2012, rumah tersebut resmi menjadi milik kami.

..............................
Allah, ternyata memang Maha.
Maha Mengantarkan jawaban doa dari arah yang bahkan tidak terduga.
Maha Meluaskan rejeki setelah menitipkan karunia yang Ia beri..
Maha Mendatangkan kejutan berkah yg halal demi menambah alasan syukur agar jauh dari takabbur..

Tidak terasa hampir tiga tahun sudah kami berteduh di sini.
Sudah banyak momen bersama keluarga yang kami bagi.
Seperti ulang tahun pertama Rashi yang berdekatan dengan ulang tahun Papa yang ke-60.
Kami ajak keluarga dan tetangga berkumpul pada waktu itu, sebagai bentuk syukur bukan hanya atas rumah dan ultah mereka, namun juga untuk usaha kecil saya yang akan dibuka seminggu kemudian.


Sejak tahun ke-2, kami pun mengajak Ibu dan adik saya (sampai ia menikah) untuk tinggal bersama.
Di penghujung tahun 2014, rumah pun kembali ramai.
Keluarga besar datang untuk mempersiapkan pernikahan adik.
Walaupun acara pernikahannya diadakan di tempat lain, tapi satu lamaran baik sudah pernah kami terima di rumah ini.


A little gathering on that Sunday afternoon about 2 years ago with family, friends, and neighbors..to share our gratitude not only for the house,but also for our son's very 1st birthday , the very recently 60th birthday of my father, and so many uncountable blessings for this family..


Guess who's coming to the house? Playdate yang sudah tidak terhitung sejak kami janji untuk tetap saling berkunjung..

My bestfriend who also a blogger from Write Simple Life when she was coming to our place
Some fun moments with neighbors..
Peresmian masjid sekaligus buka puasa bersama tahun lalu, pawai sepeda 17 Agustus, dan make up tutorial session saat kebagian jadi tuan rumah arisan komplek bersama tetangga baik yang kebetulan berprofesi sebagai make up artist..









Sudah banyak dan masih akan ada lagi momen berharga yang rumah ini simpan.
Ada satu fakta favorit yang belakangan saya semakin syukuri dari rumah ini.

Beberapa waktu setelah pindah, akhirnya saya berhasil menemukan jawaban atas pertanyaan deja vu yang dirasakan saat kali pertama.
"Dimana, pernah saya liat rumah ini sebelumnya?"

Ketika memperhatikan cat asli dinding dan pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang dapur (sebelum kami merenovasi), saya pun teringat akan sebuah mimpi lama.
Jauh sebelum kami menikah.
Saya pernah bermimpi, dalam mimpi diceritakan bahwa kami sudah menikah dan memiliki rumah.
Rumah bercat putih, dengan pegangan tangga berwarna hitam dan connecting door yang menghubungkan ruang depan dengan dapur.
Saya masih ingat, di mimpi tersebut suami tampak sibuk membantu saya menyiapkan hidangan untuk sahabat-sahabat kami yang datang.
Dia mondar-mandir membuka pintu dapur untuk mengambil minuman dan makanan.
Dulu, kami hanya mengaminkan apapun makna mimpi ini.
Sekarang, hati saya berdesir kembali, setiap mencocokkan mimpi tersebut dengan detail realita.

"Rumahnya putih, A..Ada tangganya. Pinggir tangganya warna hitam. Dan ada connecting door yang menghubungkan dapur."

Maka hanya satu ritual yang sejak itu saya ucapkan setiap kali membereskan rumah.
Merenungi perjalanan pernikahan.
Menyesapi berkah-Nya.
Dalam tunduk syukur terselip doa.

"Fabiayyi alaa'i Robbikuma tukadzibaan? 
Tabaarokasmu Robbika dzil jalaali wal ikraam.." 

"Maka nikmat Tuhan-mu yang mana yang layak kamu dustakan?
Maha Agung nama Tuhan-mu yang mempunyai Kebesaran dan Karunia." 

Allah, tidak lupakan mimpi.
Dalam lelap, Allah bahkan Maha Mengirimkan sekilas janji.
Sebelum akhirnya bertahun-tahun kemudian Ia izinkan impian itu terjadi. 
  
So believe Him.
He knows your dreams.




Share:

1 Comments